Animalifenews.com -Indonesia memiliki keunggulan sumber daya alam berupa kelimpahan benih lobster laut dibandingkan Vietnam. Namun, kontinuitas suplai benih, keterbatasan teknologi, dan hambatan pemasaran global menjadi faktor penghambat daya saing budi daya lobster nasional.
Hal
tersebut disampaikan oleh Pakar Akuakultur IPB University, Dr Kukuh Nirmala
dalam analisisnya mengenai peluang dan tantangan pengembangan komoditas
bernilai tinggi tersebut.
![]() |
Foto. Dr. Ir. Kukuh Nirmala, M.Sc.-Ist.IPB |
Kukuh menjelaskan, benih lobster alam di Indonesia sering kali terhambat oleh faktor musim, perubahan lingkungan, penangkapan berlebih, hingga penyelundupan ke luar negeri. Di sisi lain, pengembangan pembenihan lobster dalam negeri belum berkembang optimal.
“Kegiatan budi daya pembenihan lobster di Indonesia masih sangat terbatas, biaya investasinya mahal, teknologi belum sepenuhnya dikuasai, dan permintaan benih dari pembudi daya dalam negeri tidak banyak,” ungkap dosen Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) IPB University itu yang ditulis laman ipb.ac.id.
Meski
demikian, Kukuh mengatakan, faktor utama yang membuat Indonesia tertinggal dari
Vietnam bukan pada teknologi atau sumber daya manusia, melainkan pada hambatan
logistik dan akses pasar global.
“Lokasi
geografis importir di Asia lebih mudah dicapai Vietnam daripada Indonesia.
Apalagi jika budi daya kita di Maluku, Kalimantan, Nusa Tenggara Barat (NTB),
atau Jawa. Negara importir lebih menyukai lobster hidup, sehingga biaya
transportasi kita lebih tinggi,” paparnya.
Akibatnya,
harga jual lobster Indonesia di pasar internasional menjadi lebih mahal. “Harga
jual lobster laut kita lebih mahal Rp60 ribu daripada Vietnam, sehingga kalah
bersaing,” jelasnya, mengacu pada informasi dari pembudi daya lobster di
Sumatera Utara.
Untuk
mendukung produktivitas pembudi daya kecil, Kukuh membeberkan bahwa IPB
University telah mengembangkan sejumlah teknologi siap terapan. “Beberapa
teknologi sudah dilakukan, di antaranya kompartemen pencegah kanibalisme, RAS
untuk budi daya di bak, dan transportasi hidup lobster,” sebutnya.
Namun,
menurut dia, tantangan pada fase pembesaran tetap perlu mendapat perhatian
serius. “Tantangan di pembesaran adalah menekan kanibalisme, efisiensi pakan,
percepatan pertumbuhan, dan transportasi hidup,” tambahnya.
Kukuh
juga menegaskan pentingnya sinergi berkelanjutan antara riset perguruan tinggi
dan kebutuhan dunia usaha. “Perlu dibuat secara rutin dan periodic, ajang
berbagi informasi masalah lapang, seminar hasil penelitian dengan mengundang
pelaku usaha, serta kolaborasi penyediaan demplot,” tegasnya.
Ia
berharap upaya-upaya tersebut dapat meningkatkan efisiensi dan daya saing budi
daya lobster Indonesia di pasar global. (Dda)
0 Komentar