Animalifenews.com - Pakar Sosioagraria IPB University, Dr Rina Mardiana menilai kebijakan pengembangan Pulau Rempang sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) bermasalah. Karena itu, ia merekomendasikan kebijakan ini dievaluasi total.
Dalam
peluncuran Policy Brief Kebijakan Rempang yang disiarkan melalui YouTube
Yayasan LBH Indonesia (30/4), Rina, mengungkapkan terdapat lima
masalah utama kebijakan proyek Rempang.
![]() |
Foto.Dr Rina, Pakar Sosioagraria IPB University-dok.ipb.ac.id |
“Mulai dari invisibilitas hukum masyarakat Melayu, penggantian istilah relokasi menjadi transmigrasi lokal, minimnya partisipasi publik dan konsultasi bermakna, ancaman sosial ekologis, hingga potensi korupsi dan konflik kepentingan,” ujarnya.
Ia
membeberkan, proyek Rempang bukan inisiatif baru. “Proyek ini telah dimulai
sejak era Presiden SBY tahun 2004, dan kembali dihidupkan di masa Presiden Joko
Widodo melalui status PSN dengan nilai investasi sebesar Rp380 triliun hingga
tahun 2080,” jelasnya.
Dalam
praktiknya, Rina menambahkan, proyek ini memunculkan konflik dan
pelanggaran HAM. Salah satunya pada 7 dan 11 September 2023, terjadi eskalasi
kekerasan saat aparat gabungan memasuki wilayah Rempang.
“Ribuan
personel TNI-Polri bersenjata lengkap mendatangi kampung tanpa persetujuan
warga. Tidak ada konsultasi publik sehingga memicu trauma, penangkapan, dan
pelanggaran terhadap hak atas rasa aman,” katanya.
Tujuh Langkah
Strategis
Dr Rina yang
juga sebagai dosen Fakultas Ekologi Manusia (Fema) IPB University, juga
menyoroti bagaimana istilah ‘transmigrasi lokal’ dipakai sebagai bentuk
eufemisme relokasi paksa.
“Penggunaan
bahasa seperti ini merupakan bentuk manipulasi kebijakan. Substansinya tetap
pemindahan paksa yang menghilangkan hak-hak masyarakat adat,” tegasnya seperti
ditulis dalam laman ipb.ac.id.
Lebih lanjut, Rina merekomendasikan tujuh langkah strategis sebagai evaluasi
proyek ini. Pertama, ia mengusulkan agar dilakukan evaluasi
menyeluruh terhadap legalitas proyek Rempang Eco City.
“Kedua,
hentikan penggunaan istilah transmigrasi lokal. Hindari penggunaan istilah
manipulatif yang membingungkan publik,” tandasnya.
Ketiga,
lanjutnya, pemerintah harus mengakui secara hukum 16 Kampung Melayu Tua di
Rempang. Keempat, reformulasi rantai nilai energi hijau agar lebih adil.
Kelima,
lakukan kajian ekologi yang transparan dan partisipatif untuk menanggulangi
dampak tambang pasir kuarsa.
Keenam,
hentikan kriminalisasi dan intimidasi terhadap warga. Terakhir, fasilitasi
dialog yang adil dan terbuka dengan menghadirkan mediator independen.
“Pembangunan
yang adil berarti mendengarkan suara warga dan melindungi ruang hidup mereka. Kita bukan antipembangunan, tapi
prokeadilan dan akar budaya,” ucapnya. (Dda/Ril)
0 Komentar