Animalifenews.com - Raja Ampat, yang selama ini dikenal
sebagai simbol megabiodiversitas laut dunia dengan lebih dari 500 spesies
karang dan ribuan jenis ikan, kini menghadapi ironi pahit. Wilayah yang
semestinya dilindungi ini justru menjadi sasaran eksploitasi tambang nikel,
memicu gejolak serius dan krisis kepercayaan terhadap arah pembangunan
nasional.
Dr
Nimmi Zulbainarni, akademisi IPB University dari Sekolah Bisnis mengatakan
dalam beberapa bulan terakhir, laporan mengenai alih fungsi lahan di Pulau Gag,
Kawe, Manuran, dan sejumlah kawasan lain di Raja Ampat telah menimbulkan
konflik ekologis, keresahan masyarakat adat, dan mempertanyakan pemaknaan
pembangunan.
“Jika
pembangunan hanya diartikan sebagai akumulasi kapital dan pertumbuhan ekonomi
jangka pendek, maka kasus Raja Ampat menjadi cerminan kegagalan dalam memahami
esensi keberlanjutan,” ujar Nimmi seperti dikutip dari laman ipb.ac.id, Selasa
(17/6).
![]() |
Foto. Dr Nimmi Zulbainarni |
Menurut dia, masalah utama bukan terletak pada ada atau tidaknya izin pertambangan, melainkan pada absennya pendekatan kebijakan berbasis valuasi ekonomi yang komprehensif. Ia menegaskan bahwa valuasi ekonomi tidak hanya tentang keuntungan maksimum, tetapi juga tentang menjaga kelestarian sumber daya alam.
“Lebih
dari sekadar mengonversi nilai lingkungan menjadi angka rupiah, valuasi ekonomi
merupakan upaya ilmiah dan normatif untuk menempatkan lingkungan di pusat
pertimbangan kebijakan,” ucapnya.
Selain
itu, pendekatan valuasi menyeluruh yang meliputi nilai penggunaan langsung
(perikanan, pariwisata), nilai tidak langsung (perlindungan pantai, penyerap
karbon), dan nilai eksistensi, akan menunjukkan bahwa ekosistem Raja Ampat
memiliki nilai ekonomi jangka panjang yang jauh melampaui royalti sesaat dari
ekstraksi nikel.
“Alih
fungsi ekosistem di wilayah pesisir Raja Ampat memperlihatkan kontradiksi
kebijakan yang mencolok,” jelasnya.
Di satu sisi, pemerintah
mempromosikan ekonomi biru dan pariwisata berkelanjutan. Namun, di sisi lain
justru mengizinkan aktivitas ekstraktif di kawasan yang sama. Studi empiris
menunjukkan bahwa setiap hektare terumbu karang di Raja Ampat mampu menghasilkan
miliaran rupiah per tahun melalui pariwisata bahari, tangkapan perikanan, dan
jasa ekosistem lainnya.
“Kehilangan nilai-nilai ini akibat
sedimentasi, kerusakan karang, dan polusi air dari aktivitas tambang tidak
hanya menggerus basis ekonomi lokal, tetapi juga merusak integritas ekologis
yang menjadi fondasi keberlangsungan hidup generasi mendatang,” ungkapnya.
Valuasi
Ekonomi
Ia menyoroti praktik pertambangan
yang tidak mempertimbangkan daya dukung lingkungan. Baginya, praktik tersebut juga
memperlihatkan lemahnya instrumen tata kelola dan penegakan prinsip
kehati-hatian.
“Banyak
izin tambang di masa lalu dikeluarkan tanpa Amdal (Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan) yang partisipatif dan ilmiah, bahkan sebelum kajian valuasi ekonomi
yang kredibel,” tegasnya.
Dalam
konteks kebijakan publik, Dr Nimmi menekankan bahwa valuasi ekonomi seharusnya
menjadi alat bantu bagi para pengambil keputusan untuk menginternalisasi
eksternalitas negatif dari setiap kebijakan.
Jika
kerusakan lingkungan akibat tambang dapat dihitung sebagai biaya nyata seperti
kerugian produksi nelayan, biaya pemulihan terumbu karang, atau penurunan
kualitas hidup masyarakat pesisir, maka keputusan untuk mempertahankan
kelestarian lingkungan akan menjadi jauh lebih masuk akal secara ekonomi.
“Tanpa
valuasi ekonomi, lingkungan akan terus dianggap sebagai variabel bebas yang
bisa dikorbankan demi investasi jangka pendek,” tuturnya.
Lebih
lanjut, ia berpandangan bahwa Raja Ampat harus dilihat bukan sekadar gugus
pulau-pulau kecil dengan potensi tambang, tetapi sebagai ekosistem hidup yang
memiliki nilai intrinsik, nilai sosial, dan nilai ekonomi yang bersifat
regeneratif.
“Keberadaannya
bukan hanya penting bagi masyarakat adat dan pelaku wisata, tetapi juga bagi
Indonesia secara global yang tengah membangun narasi kepemimpinan dalam
transisi menuju pembangunan hijau,” imbuhnya.
Ia
kembali menegaskan, pembangunan nasional sejati harus mampu menyeimbangkan
kepentingan ekonomi dan ekologi, antara pemanfaatan dan pelestarian, antara
masa kini dan masa depan.
“Dengan
menjadikan kelestarian sumber daya alam sebagai pusat kebijakan, Indonesia
tidak hanya menjaga alam, tetapi juga memperkuat ketahanan ekonomi, sosial, dan
kultural bangsa. Raja Ampat sedang berbicara, meminta pembangunan yang bijak
dan beradab,” tegasnya. (Dda)
0 Komentar