POTENSI BESAR, NAMUN PERKEMBANGAN WISATA TERTINGGAL DARI NEGARA TETANGGA

Animalifenews.com – Indonesia dikenal sebagai negara dengan kekayaan mega-biodiversitas dan budaya terbesar di dunia. Mulai dari potensi hayati, geologi, budaya, hingga bahari dan pesisir, harusnya menjadi potensi ekowisata yang sangat berlimpah. Namun, ternyata perkembangan pariwisata Negeri ini, beberapa dekade terakhir malah tertinggal dibanding negara tetangga. 

Prof Ricky Avenzora, Guru Besar Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University menilai, perkembangan pariwisata Indonesia belum optimal. “Kita memiliki ratusan gunung berapi, pantai panjang, satwa endemik seperti gajah, harimau, badak, hingga ribuan spesies burung. Semua ini adalah potensi besar, tetapi yang muncul justru konflik antara satwa liar dan manusia,” ujarnya pada Konferensi Pers Pra Orasi Ilmiah Guru Besar IPB University (18/9).

Foto.Lokasi Wisata Alam di Banyuwangi-Danof

Pada paparannya bertajuk “Retrospeksi Akademis 35 Tahun Pembangunan Ekowisata di Indonesia,” dia juga menyoroti kekayaan budaya Indonesia. Ada lebih dari 1.300 etnis, ratusan seni bela diri, permainan tradisional, hingga ribuan folklor belum digarap serius.

“Penelitian mahasiswa saya di satu kabupaten saja menemukan lebih dari 300 folklor. Bayangkan bila dikalikan dengan 457 kabupaten/kota. Ini bisa menjadi kekuatan besar industri kreatif kita, bahkan menandingi drama Korea,” kata sosok yang akrab dipanggil Prof Ara.

Menurutnya, terdapat tiga masalah besar pembangunan pariwisata di Indonesia. Yakni, devisa dan jumlah wisatawan masih kalah dari negara tetangga. Potensi alam dan budaya justru mengalami kerusakan, serta distribusi manfaat pariwisata yang timpang. 

“Yang lebih banyak mendapatkan manfaat kelompok menengah ke atas, sementara masyarakat kecil hanya menerima recehan,” tegasnya.

Di samping itu, sektor pariwisata kerap menjadi tempat tumbuhnya penyakit sosial, mulai dari peredaran narkoba hingga meningkatnya penyakit menular seksual. Karena itu, jelasnya, diperlukan tourism reengineering secara total.

“Rekreasi dan pariwisata tidak boleh hanya dimaknai sebagai kebebasan perjalanan. Harus diubah menjadi perjalanan berkesadaran ilahiah untuk mencari jati diri dan memberi manfaat bagi semesta. Itulah yang disebut ekowisata,” jelasnya di ipb.ac.id.

Ia juga menilai pendidikan pariwisata di Indonesia selama puluhan tahun hanya berkembang dalam skema vokasional. Kompetensi keilmuan akhirnya tidak komprehensif. Hal ini berdampak pada lemahnya perencanaan dan buruknya kinerja birokrasi.

Sejumlah solusi ditawarkan, diantaranya perlu academic reengineering bidang kepariwisataan. Paradigma pembangunan pariwisata pun perlu diubah. Dari sekadar membangun fasilitas untuk turis menjadi pembangunan berpihak pada masyarakat lokal. Terakhir, ia juga menekankan penguatan peran sektor swasta sebagai inkubator bisnis komunal. (Dda)

Posting Komentar

0 Komentar