Animalifenews.com - Rencana pemerintah mennerapkan wajib penggunaan bahan bakar Etanol 10 (E10) persen pada seluruh produk bensin di Indonesia ke depan menjadi langkah menarik untuk dikaji dari berbagai aspek. Kebijakan ini bisa memiliki banyak keunggulan tetapi juga tantangan teknis yang perlu diantisipasi.
![]() |
| Foto. Dr Leopold Oscar Nelwan |
Merespons hal ini, dosen Teknik Mesin dan Biosistem IPB University, Dr Leopold Oscar Nelwan, menjelaskan bahwa sebenarnya produk bensin berbasis bioetanol telah tersedia di pasaran melalui ‘Pertamax Green 95’ dari Pertamina dengan kadar bioetanol 5 persen. Produk ini dikenal sebagai BBM Bensin E5 dan diatur melalui Keputusan Dirjen Minyak dan Gas Bumi No 252.K/HK.02/DJM/2023.
“Kebijakan ini bisa memiliki banyak
keunggulan, tetapi juga tantangan teknis yang perlu diantisipasi,” ujarnya.
Lebih lanjut ia menjelaskan, penerapan
E10 tidak hanya dapat meningkatkan proporsi energi terbarukan, tetapi juga
mendukung strategi nasional menuju net zero emission.
Meski demikian, ia menekankan bahwa
pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) bergantung pada banyak faktor, termasuk
praktik budi daya bahan baku dan proses industri pengolahan bioetanol.
“Saat ini, sumber utama bioetanol masih didominasi biomassa generasi pertama, yakni tanaman penghasil gula dan pati. Masalahnya, bahan baku ini masih bersaing dengan kebutuhan pangan,” jelasnya.
Karena itu, ia
menilai pengembangan bahan baku sebaiknya diarahkan pada biomassa generasi
kedua dan seterusnya, yang tidak berkompetisi dengan pangan. “Jika dilakukan
dengan bijak, potensi pengurangan emisi GRK tentu dapat benar-benar
diwujudkan,” pungkasnya.
Selain aspek
lingkungan, kebijakan E10 juga berpotensi mengembangkan industri bioetanol
dalam negeri dan menyerap lebih banyak tenaga kerja. Hal ini turut membuka
rantai pasok yang melibatkan banyak pihak, terutama petani. “Apabila bioetanol
bisa diproduksi sepenuhnya di dalam negeri, kemandirian energi Indonesia akan
semakin tangguh,” tutur Leopold.
Timbulkan korosi
Dari sisi
kualitas bahan bakar, ia menjelaskan bahwa pencampuran etanol dengan bensin
perlu memenuhi syarat teknis tertentu. Salah satunya, etanol yang digunakan
harus memiliki kadar air kurang dari 0,3 persen volume per volume (v/v) karena
sifatnya yang higroskopis atau mudah menyerap air.
“Jika kadar air terlalu tinggi,
campuran bensin-etanol dapat mengalami pemisahan fasa yang berisiko menimbulkan
korosi dan gangguan aliran bahan bakar. Permasalahan ini bisa diminimalkan bila
kadar air campuran di bawah 0,15 persen m/m, sebagaimana diterapkan pada E5,”
jelasnya seperti ditulis situs ipb.ac-id.
Leopold juga
menekankan keutamaan penyusunan standar operasional prosedur (SOP) yang lebih
ketat. Karena kandungan bioetanol yang lebih tinggi, SOP ini penting untuk
menjamin perubahan kualitas bahan bakar—terutama penyerapan air dari udara yang
lembap—seminimal mungkin sehingga sampai pada konsumen dengan aman.
“Memang ada isu
juga saat pemakaian di konsumen, sebagaimana isu pada biodiesel, agar jangan
terlalu lama bahan bakar tidak digunakan di tangki mobil yang memungkinkan hal
di atas terjadi,” katanya.
Leopold
menambahkan bahwa meskipun bioetanol memiliki nilai kalor lebih rendah
dibanding bensin murni, senyawa ini memiliki angka oktan (RON) yang tinggi,
sehingga pencampuran dengan bensin dapat meningkatkan performa mesin
berkompresi tinggi.
“Kendaraan modern
dengan rasio kompresi besar justru diuntungkan dengan bahan bakar ber-RON
tinggi seperti E10,” tuturnya. (Dda)

0 Komentar